SERPONG, ULTIMAGZ.com – Aksi Kamisan kembali digelar untuk ke-860 kalinya di seberang Istana Merdeka, Jakarta Pusat, pada Kamis (08/05/25). Aksi kali ini sekaligus untuk memperingati 32 tahun pembunuhan aktivis buruh perempuan, Marsinah dan menolak wacana pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional karena dinilai bertanggung jawab atas berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) selama rezim Orde Baru.
Menurut Dian Septi Trisnanti dari marsinah.id yang hadir sebagai salah satu pemateri pada Aksi Kamisan ke-860, Marsinah adalah cerminan dari femisida, yaitu pembunuhan terhadap perempuan yang dilatarbelakangi kebencian berbasis gender. Dalam kasus ini, tidak lepas dari keterlibatan militer Orde Baru.
Baca juga: Marsinah Berkibar di Sarinah, Mengulang Cerita yang Pernah Ada
“Kita mengenalnya dengan dwifungsi ABRI,” kata Dian, merujuk pada peran ganda militer saat itu yang tidak hanya bertugas dalam bidang pertahanan, tetapi juga menguasai sektor-sektor sipil.
Dian menambahkan, Marsinah terlihat terakhir kali melabrak tentara karena penculikan yang menimpa teman-temannya, para pengurus serikat yang memimpin aksi pemogokan. Keberanian Marsinah menghadapi militer itulah yang kemudian diduga menjadi salah satu alasan dirinya menjadi target kekerasan.
Marsinah dan 32 Tahun Ketidakadilan
Pada 8 Mei 1993, jasad Marsinah ditemukan di hutan Wilangan, Nganjuk, dalam kondisi penuh luka akibat kekerasan berat. Buruh perempuan asal Jawa Timur tersebut kemudian dikenal sebagai simbol perjuangan hak-hak pekerja melalui keterlibatannya dalam aksi-aksi menuntut keadilan di tempatnya bekerja. Hingga saat ini, kasus kematiannya belum menemukan penyelesaian.
Marsinah mulai secara gigih memperjuangkan hak-hak pekerja sejak ia bekerja di PT Catur Putra Surya (CPS), Sidoarjo. Tempat itu menjadi saksi langsung bagaimana buruh diperlakukan secara tidak adil. Puncak perlawanannya terjadi pada 1993, ketika ia turut memimpin aksi mogok kerja menuntut kenaikan upah sesuai ketentuan gubernur Jawa Timur.
Mengutip dari abc.net.au, ia dan teman-teman buruhnya membuat 12 tuntutan kepada perusahaan tersebut. Mereka melakukan aksi dengan mogok kerja dan berdemonstrasi, dikutip dari kabar24.bisnis.com. Aksi tersebut semula berlangsung damai, tetapi berujung pada intimidasi dan pemecatan sejumlah buruh. Mengutip dari tempo.co, 13 karyawan dibawa ke Markas Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo karena dianggap menghasut aksi mogok kerja pada 5 Mei 1993.
Mengetahui hal itu, Marsinah mendatangi Kodim pada siang hari untuk mencari informasi tentang rekan-rekannya. Namun, pada malam harinya sekitar pukul 22.00, Marsinah menghilang dan tidak lagi diketahui keberadaannya, dilansir dari kompas.com.

Tiga hari kemudian, pada 8 Mei 1993, Marsinah ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa di sebuah gubuk. Salah satu dokter forensik yang menangani kasus Marsinah, dr. Abdul Mun’im Idries mengatakan bahwa hasil visum menunjukkan adanya tembakan pada tubuh Marsinah. Ia menyimpulkan bahwa kematian Marsinah disebabkan karena luka tembak tersebut.
“Melihat lubang kecil dengan kerusakan yang masif, apa kalau bukan luka tembak?” ujar Mun’im Idries, dikutip dari tempo.co.
Hingga kini, 32 tahun setelah peristiwa tragis itu, kasus Marsinah belum menemukan keadilan sepenuhnya. Ia tetap menjadi ikon perjuangan buruh dan simbol bahwa ketidakadilan terhadap kaum pekerja masih menjadi luka dalam sejarah Indonesia.
Singkat Mengenai Aksi Kamisan
Aksi Kamisan merupakan bentuk tuntutan kepada pemerintah atas banyaknya kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan. Berbagai latar belakang kasus pelanggaran HAM di Indonesia meliputi Tragedi 1965, penghilangan paksa 1997-1998, Tragedi Mei 1998, Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, kasus Talangsari, kasus Tanjung Priok, hingga pembunuhan aktivis Munir.
Aksi ini pertama kali digelar pada 18 Januari 2007, dipelopori oleh tiga orang yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK). Mereka adalah Maria Catarina Sumarsih selaku ibu kandung dari mendiang Bernardinus Realino Norma Irmawan (Wawan) yang meninggal tertembak pada Tragedi Semanggi I, Suciwati selaku istri dari mendiang Munir Said Thalib yang diracun di pesawat saat terbang menuju Belanda, dan Bedjo Untung selaku perwakilan dari keluarga korban Tragedi 1965-1966.
Aksi yang kerap disebut dengan Aksi Diam ini bukan merupakan perlawanan dengan cara yang keras, tetapi dengan damai. Lewat berdiri maupun berorasi di seberang Istana Merdeka sebagai simbol kekuasaan, para partisipan hanya meminta agar keadilan ditegakkan dan menghapus impunitas.

“Ketika kami memutuskan aksi itu aksi diam, cara penyampaian tuntutan kami berupa peralatan aksi, spanduk ya, kemudian surat selebaran, membuat surat kepada presiden, ini cara kami menyuarakan untuk tuntutan kami. Diam bagi saya tetap melakukan sesuatu dengan cara yang damai,” ujar Sumarsih kepada ULTIMAGZ pada Kamis (08/05/25). Sumarsih menambahkan, makna diam bukan berarti mengalah. Warga negara memiliki hak dalam menyampaikan aspirasinya.
Konsistensi Aksi Kamisan
Seiring berjalannya waktu, Aksi Kamisan tidak hanya dihadiri oleh para kerabat atau keluarga korban saja, melainkan juga mahasiswa, akademisi, aktivis, serta masyarakat sipil yang ikut menyuarakan dan menuntut keadilan. Walau sudah terhitung sebanyak 860 kali, semangat dan tujuan yang dibawa dalam setiap aksi tetap sama. Para peserta aksi membawa spanduk dan selebaran berisi pesan-pesan dan bergambar wajah Marsinah bertuliskan “Pahlawan Itu Adalah Marsinah”, juga spanduk bertuliskan “Soeharto Penjahat Kemanusiaan, Soeharto Bukan Pahlawan!”, lengkap dengan pakaian dan payung hitam.
Aksi Kamisan ke-860 ini turut dihadiri oleh Prof. Dr. Dra. Sulistyowati Irianto, M.A., Guru Besar Antropologi Hukum dan Gender Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia sebagai pemateri kuliah jalan. Menurut Sulis dalam orasinya, kasus Marsinah menunjukkan bagaimana hukum kerap gagal dalam menyikapi kasus kekerasan yang menyerang tubuh dan kehormatan perempuan. Sulis menambahkan bahwa hukum di Indonesia tidak mengakomodasi pengalaman serta kebutuhan kelompok-kelompok menengah ke bawah dan kelompok masyarakat pada umumnya. Hukum justru dibuat untuk mendefinisikan kekuasaan.
“Lebih konkritnya lagi, mereka (pemerintah) tidak mampu membuat mekanisme politik dan hukum yang baik, sehingga rakyat yang harus menanggung kesulitan-kesulitan ekonomi, kohesi sosial di masyarakat karena mereka dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat tanpa konsultasi kepada masyarakat, maka melahirkan kebijakan yang merugikan,” ujar Sulis kepada ULTIMAGZ, Kamis (08/05/25).
Sementara itu, Sumarsih yang selalu hadir dalam setiap Kamisan kembali menyatakan bahwa negara justru melakukan perlindungan terhadap para pelaku pelanggar HAM. Ia menambahkan bahwa dirinya ingin mewujudkan agenda reformasi yang ketiga yaitu menegakkan supremasi hukum dengan membawa Tragedi Semanggi I dan Semanggi II, serta Tragedi Trisakti ke meja pengadilan sebagai barometernya.
Peserta Aksi Kamisan juga melaksanakan sesi refleksi yang diwakilkan oleh kawan-kawan dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ), Universitas Multimedia Nusantara (UMN), dan pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) dari Sukabumi. Faiz, salah satu pemberi refleksi dari SMA di Sukabumi turut menyampaikan pendapatnya mengenai pelanggaran HAM.
“Tentunya pelanggaran HAM itu, pelanggaran yang berat ya, harus selalu dituntaskan. Tapi dari dulu pemerintahan kita memang tidak serius dalam menangani kasus pelanggaran HAM, seperti janji, kampanye Jokowi, dari NAWACITA dan lain-lain untuk menuntaskan pelanggaran HAM. Tapi sekarang kita melihat sosok pelanggar HAM itu ada di jabatan publik,” ujar Faiz kepada ULTIMAGZ.
Baca juga: Sejarah Aksi Kamisan: Perjuangan 17 Tahun Menuntut Keadilan Kasus Pelanggaran HAM Berat
Segala orasi dan refleksi yang disampaikan oleh para pemateri dan perwakilan partisipan menunjukkan bahwa semangat perjuangan melawan impunitas selalu ada, bahkan sampai ke generasi muda. Lainnya, sebagai upaya merawat ingatan perjuangan, pada 21 Mei 2025 mendatang akan dirilis buku yang menceritakan tentang 18 tahun Aksi Kamisan, hasil karya kumpulan penulis yang terseleksi.
Saat ini, Aksi Kamisan sudah menyentuh angka 18 tahun. Ultimates dapat bergabung ikut dalam aksi ini setiap Kamis pukul 16.00—17.00 Waktu Indonesia Barat (WIB) di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat. Untuk informasi lebih lanjut, Ultimates juga dapat mengunjungi akun Instagram @aksikamisan.
Penulis: Clarisa Renata, Jesslyn Gunawan Wijaya
Editor: Jessie Valencia
Foto: ULTIMAGZ/Putri C. Valentina
Sumber: kompas.com, abc.net.au, kabar24.bisnis.com, tempo.co