SERPONG, ULTIMAGZ.com – Kemajuan kualitas hidup manusia semakin terasa dalam kehidupan manusia hari ini. Mulai dari kemajuan pendidikan, literasi, dan tentu saja teknologi semakin menjamin kehidupan manusia dari masa ke masa. Namun, gejala depresi, anxiety, perasaan kesepian serta terisolasi, dan tingkat kepuasaan hidup mencapai titik yang rendah, paling tidak di Amerika Serikat, salah satu negara termaju di dunia.
“Ini adalah paradox of progress. Ketika semua hal menjadi lebih baik, kita menjadi merasa lebih gelisah dan frustasi,” tulis salah satu penulis karya best selling versi New York Times, Mark Manson. Sebelumnya, Manson dikenal dengan salah satu karya best seller-nya yakni The Subtle Art of Not Giving a Fuck.
Melalui Everything is Fucked: a Book About Hope, Manson berargumen bahwa paradoks ini disebabkan manusia menghindari rasa keputusasaan untuk melanjutkan hidup. Dengan demikian, manusia mengais harapan memalui sejumlah hal seperti ideologi cara bernegara, cinta kasih antarkeluarga, hingga agama. Pencarian terus dilakukan mulai dari sesuatu yang saintifik hingga tidak masuk akal.
Mengapa? Karena manusia harus mempunyai harapan. Tanpa harapan, manusia akan tersadar kembali pada Uncomfortable Truth (Kebenaran yang tidak nyaman) bahwa hidup terasa tak begitu signifikan, tidak mempunyai arti atau makna apa pun di dunia. Jika hidup tidak mempunyai arti apa pun, maka untuk apa melanjutkan hidup?
Namun demikian, aktivitas pencarian harapan ini sebenarnya bersifat destruktif. Sebab, harapan-harapan yang dicari manusia acap kali menimbulkan perselisihan antarpencari harapan. Melalui buku tersebut, Manson mengkritik cara mencari harapan yang merusak dan tidak akan pernah memuaskan manusia. Ia menyampaikan bahwa ideologi, hubungan personal, dan agama menjual harapan, menakut-nakuti, dan meraup keuntungan dari manusia.
Akibatnya, manusia kesulitan untuk menyeimbangkan Feeling Brain dan Thinking Brain. Singkatnya, Feeling Brain adalah bagian otak yang mengatur emosi manusia, sedangkan Thinking Brain adalah bagian otak yang mengatur cara manusia berpikir. Di satu sisi, banyak yang merundung emosi sebagai kelemahan dan mendewakan cara berpikir logis sebagai antitesisnya. Inilah yang menyebabkan manusia miskin secara spiritual dan bertemu kembali dengan Uncomfortable Truth yang berujung pada gangguan kesehatan mental, bahkan depresi.
Di sisi lain, banyak juga yang mendewakan emosi dan merundung habis-habisan pemikiran logis. Kerap kali hal ini dilakukan untuk merasa lebih baik, bukan menjadi lebih baik. Hal ini berdampak pada narasi emosional yang kemudian muncul ke permukaan hari ini, seperti kelompok agama tertentu yang menjadi mush bersama elit dunia, vaksin yang dituding menyebabkan autisme, teori bumi datar, dan masih banyak lagi.
Oleh karena itulah, Manson menyusun tulisan berisikan berbagai kisah sejarah, tumpukan penelitian psikologis, tulisan terdahulu oleh para cendekiawan sejak zaman Yunani, dan pengalaman pribadinya untuk memaparkan bagaimana harapan bekerja. Manson menantang para pembaca untuk menjadi jujur dengan dirinya sendiri mengenai pemahaman mengenai iman, ideologi, agama, dan harapan itu sendiri.
“Jika ini semua terdengar seperti nihilisme, jangan salah. Buku ini bukan merupakan argumen yang mendukung nihilisme, buku ini adalah untuk menentang nihilisme,” tulis Manson.
Perlu diperhatikan, gaya penulisan Manson mengenai self-improvement memang cenderung mengarah ke arah ‘negatif’daripada ‘positif’ jika diabndingkan dengan buku Manson sebelumnya. Namun, Manson percaya bahwa menerima hal-hal negatif di dalam kehidupan kita, seperti rasa sakit merupakan hal yang penting sebagai manusia. Pun, hal tersebut akan dialami oleh manusia, sehingga menghindarinya malah merupakan aksi kontraproduktif.
Jadi bagi para pembaca, bersiaplah membaca hal-hal yang tidak menyamankan, menyakitkan, bahkan mempermalukan. Tulisan Manson yang humoris dan tidak menghakimi akan menemani serta mengevaluasi arti harapan selama 236 halaman.
Penulis: Ignatius Raditya Nugraha
Editor: Ivan Jonathan
Foto: Litteracie via tokopedia.com