JAKARTA, ULTIMAGZ.com— Ketika dihadapi dengan berbagai masalah, pernahkah Ultimates kalang kabut menghadapinya? Segala emosi dan perasaan menumpuk, entah amarah, gundah, lelah, atau bahkan tertekan. Tenang saja, luapan emosi ini normal, ya, Ultimates. Reaksi-reaksi ini adalah salah satu cara tubuh untuk melepas stres.
Stres adalah reaksi biologis yang lazim dialami seseorang ketika berhadapan dengan masalah, baik masalah yang terpampang nyata seperti terkena bencana alam maupun masalah tidak terlihat seperti tuntutan masyarakat. Reaksinya pun bermacam-macam, tidak terbatas pada rasa pusing dan tertekan seperti yang umumnya diketahui. Reaksi stres juga bisa berupa emosi sedih, marah, linglung, dan lainnya.
“Stres itu harus ada di dalam kehidupan manusia. Stres yang membuat kita terdorong, ada sebuah pressure dari dalam yang membuat kita motivated untuk problem solving, makanya ada istilah sistem kebut semalam,” ujar Psikolog Eric Sucitra saat dihubungi ULTIMAGZ, Selasa (21/09/21).
Eric menyatakan bahwa stres di era modernisasi lebih buruk dan berbahaya dibandingkan sebelumnya. Pasalnya, di era ini seseorang lebih banyak dihadapi dengan masalah tak nyata atau tidak terlihat.
“(masalah) yang ga keliatan, yang modern enough, otak kita mempersepsikan hal itu sebagai sumber bahaya,” Eric menjelaskan, “Otak kita ketika mendapatkan hal itu (masalah tak terlihat), dia memberikan reaksi yang sama dengan kalau kita bertemu macan di tengah jalan, karena ibaratnya sama-sama sumber masalah.”
Pemicu stres dapat berupa apa pun selama otak melihatnya sebagai sumber masalah, seperti ekonomi, keselamatan diri, bahkan kehidupan sosial. Pandemi yang mempersempit ruang gerak juga menjadi salah satu penyebab stres.
Penelitian yang dilakukan oleh Hasanah dan tim dalam jurnal Gambaran Psikologis Mahasiswa Dalam Proses Pembelajaran Selama Pandemi COVID-19 menunjukkan adanya 87,89% responden yang mengalami stres. Bahkan, stres ini juga menimbulkan kecemasan berlebih (16,84%) dan depresi (96,32%) pada responden.
Menurut Eric, pandemi dan work from home (WFH) memicu stres karena otak kesulitan untuk membedakan zona kerja dan istirahat. Jika switch focus atau pengalihan perhatian seseorang tidak fleksibel akan perubahan, besar kemungkinannya orang tersebut akan mengalami stres.
Meski wajar dialami, Eric juga mengingatkan untuk tangani stress sesegera dan sebaik mungkin. Pasalnya, stress dapat merembet dan memengaruhi kesehatan psikis dan fisik lainnya. Contoh mudahnya adalah stres akibat pekerjaan, ketika Ultimates bergadang untuk menyelesaikannya, tubuh menjadi kurang istirahat. Esoknya, Ultimates menjadi rentan terkena sakit kepala, suasana hati pun menjadi kurang baik dan sensitif dari kurang tidur.
Stres tentu menjadi sebuah hal yang tidak dapat dianggap remeh. Eric menekankan bahwa apabila sudah merasakan stres secara berkepanjangan, segeralah identifikasi tindakan seperti apa yang perlu dilakukan. Misalnya, dengan beristirahat sejenak dari segala kesibukan yang menjadi pemicu stres tersebut.
“Kalau dirasa sudah berkepanjangan, maybe it is time untuk bertindak. Apa yang salah, diidentifikasi. Kemudian, bisa ngapain supaya lebih rileks, istirahat, ” kata Eric.
Oleh sebab itu, sangat penting untuk mengetahui cara-cara yang tepat untuk mengatasi stres, secara khusus dengan keterbatasan kondisi saat beraktivitas di rumah saja. Berikut adalah beberapa hal yang dapat Ultimates lakukan untuk mengatasi stres.
1. Menjaga pola makan
Menjaga pola makan merupakan salah satu hal yang berperan besar untuk menghindari stres. Melansir hellosehat.com, berbagai macam zat gizi pada makanan memiliki fungsi penting untuk menunjang fungsi otak dan kekebalan tubuh, serta dapat menurunkan kadar hormon kortisol yang dihasilkan tubuh saat sedang stres. Karena itu, perhatikanlah waktu, jenis, dan jumlah makanan yang kita santap. Penuhilah kebutuhan gizi seimbang tubuh dalam jumlah yang cukup dan pola waktu makan yang teratur.
2. Perhatikan pola tidur
Memiliki waktu tidur yang cukup dan berkualitas adalah cara lain yang dapat dilakukan untuk mencegah dan mengatasi stres. Saat manusia tidur, tubuh akan bekerja untuk memulihkan segala kerusakan yang ada, baik secara fisik maupun mental. Di tengah segala kesibukan, sediakanlah waktu yang cukup untuk membiarkan kondisi otak dan tubuh kembali pulih, setidaknya selama tujuh jam dalam satu hari.
3. Rutin berolahraga
Berolahraga tidak hanya berdampak baik bagi fisik, tetapi juga mental. Saat berolahraga, jantung akan memompa oksigen dengan cepat sehingga nutrisi akan sampai ke otak lebih cepat pula. Selain itu, olahraga juga membuat tubuh melepaskan hormon endorfin yang membuat manusia merasa senang. Eric menuturkan bahwa ketika kita berolahraga setidaknya selama lima menit saja, kita akan merasa bahwa telah melakukan hal yang produktif. Jadi, luangkanlah waktu untuk berolahraga sejenak, secara khusus saat Ultimates mulai merasa penat dan stres.
4. Stay connected
Sebagai makhluk sosial, tentu kita akan selalu membutuhkan orang lain. Sering kali kita merasa selalu ingin sendirian saat sedang merasa tidak baik-baik saja, padahal bisa jadi itu adalah waktu ketika kita paling membutuhkan orang lain. Di situasi seperti itu, tak ada salahnya untuk membangun komunikasi dengan orang-orang terdekat untuk berbagi cerita, atau hanya sekadar membagikan lelucon di grup WhatsApp. Saat sedang merasa stres, cobalah untuk tetap terhubung dengan orang lain, terutama orang-orang terdekat yang bisa menyalurkan energi positif.
5. Melakukan hobi
Hal sederhana lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi stres ialah melakukan aktivitas yang kita suka. Jangan ragu untuk mengambil waktu jeda sejenak dari segala kesibukan. Gunakanlah waktu itu untuk bermain game, membaca buku, menonton film, dan berbagai hal yang disukai. Dengan begitu, rasa stres yang semula melingkupi dapat berkurang dan membuat tubuh merasa lebih baik.
Hati-Hati Menerka Kondisi Sendiri
Walaupun telah memahami tanda-tanda hingga cara mengatasi stres, Ultimates juga perlu berhati-hati agar tidak asal melakukan self-diagnosis. Self-diagnosis adalah upaya mendiagnosis diri sendiri berdasarkan pengetahuan diri atau informasi yang ada di sekitar. Terkait hal ini, Eric mengatakan bahwa self-diagnosis dapat berakibat fatal apabila diagnosis diri itu salah dan berujung pada pengambilan tindakan penanganan yang salah pula.
“Bayangin kalau kita diagnosis-nya begitu (salah), otomatis end product-nya makin ngaco, jadi bingung kenapa gak sembuh-sembuh dan akhirnya buang waktu, buang tenaga, dan makin parah,” jelasnya.
Eric menjelaskan bahwa tindakan self-diagnosis juga dapat berujung pada romantisasi diagnosis, yaitu kondisi ketika orang merasa ‘keren’ atau ‘bangga’ dengan diagnosis gangguan mental tersebut. Hal ini tentu tidak baik dan perlu diwaspadai.
Akan tetapi, self-diagnosis tak sepenuhnya salah atau tidak boleh dilakukan sama sekali. Tindakan ini memang kerap dilakukan sebagai langkah awal ketika mengalami hal yang tidak biasa. Misalnya, ketika kita merasa sakit di bagian tubuh tertentu, kita akan googling terlebih dahulu untuk mencari informasi di internet. Dalam hal ini, dapat berlaku juga ketika kita merasa stres atau merasa mental sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Searching atau membuat perkiraan sendiri mengenai apa yang sedang kita alami boleh saja dilakukan sebagai tindakan awal. Namun, ketika kondisi tak kunjung membaik, mintalah bantuan orang yang ahli di bidangnya seperti psikolog.
“Jadikanlah itu (self-diagnosis) patokan, tapi jangan jadikan konklusi,” tutup Eric.
Penulis: Christabella Abigail Loppies, Thefanny
Editor: Andi Annisa
Foto: ULTIMAGZ/Timothy B., ULTIMAGZ/Charles Putra
Sumber: Hellosehat.com, Hasanah, U., Ludiana, I., & PH, L. (2020). Gambaran psikologis mahasiswa dalam proses pembelajaran selama pandemi COVID-19. Jurnal Keperawatan Jiwa, 8(3), 299-306.