SERPONG, ULTIMAGZ.com – Perhelatan Asian Games 2018 secara resmi menjadikan olahraga virtual atau eSports sebagai cabang olahraga yang dipertandingkan. eSports dilombakan seraya mencari duta negara terbaik dalam bidang tersebut yang kini disetarakan dengan sebutan atlet. Lantas, apakah publik menelantarkan kemungkinan yang terjadi kala generasi milenial mencoba menggapai mimpi menjadi seorang ‘atlet’ olahraga virtual?
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melalui situs resminya telah menahbiskan kecanduan bermain permainan virtual sebagai gangguan kesehatan mental. Lebih jauh, WHO mengklasifikasikan penyakit tersebut dalam revisi kesebelas Klasifikasi Penyakit Internasional (ICD-11), sebuah daftar untuk memetakan ragam kondisi kesehatan yang terjadi di seluruh dunia seperti dikutip dari who.int.
Tak semua kondisi kecanduan permainan virtual dapat diklasifikasikan sebagai gangguan mental versi WHO. Mengutip situs resminya, pecandu permainan virtual didefinisikan sebagai berikut,
“Impaired control over gaming, increasing priority given to gaming over other activities to the extent that gaming takes precedence over other interests and daily activities, and continuation or escalation of gaming despite the occurrence of negative consequences.”
Definisi ini memetakan kondisi seorang pecandu permainan virtual yang sudah mulai terganggu mentalnya. Kembali, tak semua pemain permainan virtual memasuki tahap gangguan mental, tetapi perlu diwaspadai tanda-tandanya. Melansir psychguides.com, salah satu tandanya dapat terlihat ketika seseorang mulai bermain untuk mengubah suasana hati mereka.
Dampak yang dihasilkan dapat bervariasi sesuai dengan eskalasi perilaku setelah terekspos dengan gim virtual. Mengutip salah satu dokter dari WHO Vladimir Poznyak melalui cnn.com, dikatakan bahwa dapat terjadi gangguan hubungan dengan diri sendiri, keluarga, lingkup sosial, pendidikan, kemampuan bekerja, hubungan cinta, dan kesehatan. Pun, poin-poin tadi merupakan salah satu dampak dari sejumlah kerugian akibat kecanduan gim virtual.
Lebih dalam, psychguides.com menyatakan bahwa dampak kecanduan permainan virtual dapat merusak kerja otak layaknya kecanduan obat-obatan. Seseorang yang terekspos narkotika umumnya akan menarik diri dari lingkungan dan memiliki performa buruk dalam pendidikan atau pekerjaan mereka. Hal serupa terjadi akibat kecanduan bermain, bahkan beberapa negara telah memberlakukan pusat rehabilitas bagi pecandu gim.
‘eSports’ Vs Gangguan Mental
Kini saatnya kembali merujuk ke persoalan utama dalam tajuk ini. Apakah publik menelantarkan kemungkinan yang terjadi kala generasi milenial mencoba menggapai mimpi menjadi seorang ‘atlet’ olahraga virtual? Euforia permainan virtual pada 2018 membuat masyarakat menilai sah-sah saja jika perhelatan olahraga internasional menjadikan hal tersebut sebuah cabang olahraga. Pasar dan minat yang tinggi kini menjadi acuan utamanya.
Layaknya atlet sepak bola, basket, bulu tangkis, dan lainnya, seorang atlet olahraga virtual juga perlu berlatih untuk bertransformasi menjadi duta terbaik bangsanya. Seorang pemanah akan berlatih memanah. Begitu pula seorang atlet permainan olahraga virtual akan berlatih dengan permainan virtualnya hingga mendapat hasil yang optimal, mungkin berjam-jam dengan intensitas yang tinggi pula.
Asumsi tersebut ditentang oleh Ketua Indonesia e-Sports Association (IeSPA) Eddy Lim kala konferensi pers untuk memperkenalkan olahraga virtual di Fairmont Hotel, Jumat (24/08/18). Eddy menjelaskan bahwa atlet olahraga virtual berbeda dengan masyarakat umum yang mengonsumsi permainan virtual.
“Para peserta memiliki pelatih masing-masing tergantung permainnya. Pelatih mengatur makanan yang mereka makan, kapan waktu untuk berlatih permainan, diskusi strategi yang akan dipakai, dan mereka (atlet) tidak boleh bermain seharian. Berbeda dengan orang awam yang bisa bermain berjam-jam.”
(Baca Juga: Cabang Olahraga Baru ‘eSports’ Bukan Sekadar Bermain Gim)
Eddy melakukan kesalahan berpikir yang kerap disebut Cherry Picking, yakni kesalahan berpikir yang hanya mengambil beberapa fakta untuk mendukung argumennya. Benar kata Eddy bahwa seorang atlet memiliki kebiasaan yang berbeda dengan masyarakat, namun melewatkan konteks yang lebih luas.
Konteksnya bukan ketika berlatih mempersiapkan kompetisi, namun konteksnya adalah ketika seseorang berusaha mencapai standar agar kemampuannya diakui oleh banyak pihak. Seorang calon atlet pada umumnya tak lebih dari seseorang dengan kemampuan yang baik di suatu bidang, dan untuk dikenal dan mencapai standar tersebut tentu memerlukan latihan dan bakat.
Berapa lama waktu yang diperlukan untuk mendapat pengakuan tersebut? Lebih mengerikan lagi membayangkan berapa banyak orang yang akan berlatih menekuni minatnya di bidang tersebut hingga mendapat pengakuan sebagai seorang atlet nasional? Pengakuan demi pengakuan dapat meningkatkan konsumen gim virtual lantaran diniali sebagai hal yang kian positif.
Pun demikian, tajuk di atas tak menyimpulkan bahwa setiap orang yang mengonsumsi gim virtual akan terpapar dampak tersebut. Bahkan WHO menyatakan bahwa gaming disorder hanya akan mempengaruhi sebagian kecil dari konsumen. Namun publik perlu mewaspadai kemungkinan yang dapat terjadi akibat promosi nasional atlet e-Sports.
Penulis: Ivan Jonathan
Editor: Hilel Hodawya
Foto: nytimes.com
Sumber: who.int, cnn.com, esquire.com, psychguides.com, nbcnews.com