SERPONG, ULTIMAGZ.com – Ironis, media sosial sebagai simbol komunikasi global menjadi alat regresif atau kemunduran karakter yang menyedihkan bagi pemuda calon penerus bangsa. Karakter dalam cara berpikir, mental, ketergantungan, dan empati mengalami kemunduran, terutama bila menyempatkan diri untuk melihat buruknya cara beretika di dunia maya oleh para pemuda kelahiran tahun 1990-an sampai 2000-an yang lazim disebut sebagai “generasi Z”.
Media sosial, salah satu keajaiban teknologi komunikasi, merupakan salah satu media terbesar untuk berkomunikasi. Namun, juga dapat menjadi perusak karakter terbesar dalam waktu yang sama bagi para pemuda Indonesia. Tidak perlu sampai lima menit, mudah sekali menemukan hujatan, ejekan, bahkan ancaman pembunuhan pada kolom komentar berita sehari-hari seperti breaking news, terutama politik.
Kehausan Akan Validasi
Kemunduran generasi Z ini terjadi karena munculnya sarana mencari validasi yang salah. Validasi atau kebutuhan untuk diakui oleh orang-orang adalah kebutuhan pokok semua manusia untuk mempertahankan keberadaannya dalam hidup. Namun, berbeda dengan dulu, orang-orang mencari validasi dengan berusaha meraih prestasi, mempunyai ambisi besar, atau aktif dalam kegiatan kemanusiaan. Sekarang, pencarian validasi dilakukan dengan mencari kuantitas jumlah antara likes, comments, dan views.
Narsisme menjadi cara utama mengatasi rasa perlunya untuk dibutuhkan melalui validasi media sosial. “Hubungan dengan media sosial dan smartphones melepaskan dopamine (rangsangan saraf), itulah mengapa saat kamu mendapatkan pesan, kamu akan merasa puas,” jelas Simon Sinek, seorang TED Speaker dan penulis terkenal. Studi Harvard tahun 2012 juga melaporkan, membicarakan tentang diri sendiri melalui media sosial mengaktifkan sensasi kenikmatan di otak yang terkait dengan makanan, uang, dan seks.
Sensasi kenikmatan tersebut sangat adiktif dan merusak. Sebab, sama halnya seperti barang adiktif lainnya seperti rokok dan minuma keras, sensasi kenikmatan media sosial akan membenarkan segala cara agar “diakui” oleh orang lain. Yang terpenting adalah likes, comments, dan views, bukan makna dan pesan dari konten yang diunggah oleh pengguna media sosial.
Sarana Menghina Sesama Manusia
Media sosial telah menjadi sarana sebagian generasi Z untuk menghina orang lain yang bahkan tidak dikenal hanya karena mempunyai opini yang berbeda. Facebook, Instagram, dan Twitter yang menjadi sarana penghubung kehidupan sosial orang-orang yang berbeda telah berubah menjadi pemuas narsisme yang tidak mengindahkan keberadaan orang lain sebagai sesama manusia.
Bayangkan, bila ada orang yang menghina orang lain yang tidak dikenalnya di jalan umum, akan terjadi masalah seperti kericuhan yang dapat berujung pada urusan dengan pihak keamanan setempat. Namun, bila ada orang yang menghina orang lain yang tidak dikenalnya di media sosial, tidak akan terjadi apa-apa karena dilakukan via media sosial. Melalui media sosial, kata-kata “dungu”, “bodoh”, “goblok” dan “bahasa binatang” lainnya mudah sekali dilontarkan kepada sesama manusia .
Bahkan, anak-anak dibawah umur tidak luput dari hinaan dan hujatan Generasi Z. Contohnya Bowo Alpenliebe, anak SMP kelahiran tahun 2005 yang menerima ratusan pelecehan verbal melalui hujatan dan penghinaan yang menggunakan istilah alat kelamin dan bahasa binatang melalui Instagram. Hal itu disebabkan kegemaran Bowo menggunakan aplikasi musik Tik Tok sehingga muncul para penggemar Bowo yang terkenal karena berlebihan dan disebut “alay”. Namun, perlu ditegaskan, ratusan orang beramai-ramai menghujat anak SMP di media sosial adalah gejala yang sakit dan lebih menjijikkan dibanding penggemar aplikasi musik itu sendiri.
Penghancur Kesehatan Mental
Penelitian dari Universitas Houston dan Universitas Palo Alto dari Amerika menghasilkan jurnal sosial dan psikologi berjudul “Seeing Everyone Else’s Highlight Reels: How Facebook Usage is Linked to Depressive Symptoms” yang jika diterjemahkan berarti ‘Menyoroti Gulungan Kehidupan Semua Orang: Bagaimana Penggunaan Facebook Terhubung dengan Gejala Depresi’.
Studi yang dihasilkan memberikan bukti bahwa orang-orang mengalami depresi setelah mengonsumsi Facebook dalam waktu lama. Gejala Depresi ini disebabkan kemudahan untuk membandingkan kehidupan diri sendiri dengan orang lain. Orang-orang melihat kumpulan foto dan video yang diedit untuk memperlihatkan citra terbaik untuk dibandingkan dengan proses kehidupan nyata seperti kegagalan, penolakan, dan titik terendah dalam hidup.
Perbandingan ini sangat berbahaya karena dapat merusak mental dalam menilai konsep dan nilai diri generasi Z selaku pengguna sosial media terbanyak. Lebih jauh, rusaknya kemampuan dalam menilai diri tersebut akan menyebabkan generasi penerus bangsa cenderung menjadi generasi yang rendah dalam kepercayaan diri dan motivasi untuk berjuang dalam hidup.
Kesimpulan
Kehausan akan validasi, gejala adiktif, pembenaran hujatan, dan gangguan kesehatan mental menjadi ancaman dalam media sosial. Lantas, apakah yang bisa kita lakukan sebagai Generasi Z? Terlebih, jika melihat kenyataan bahwa pada saat ini media sosial tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari?.
Kesadaran diri sendiri dan disiplin menjadi solusi yang bertahap dan tidak instan. Pertama, kesadaran diri sendiri akan ancaman-ancaman media sosial untuk menegakkan rasa disiplin. Kedua, disiplin untuk bertindak dengan mengontrol penggunaan media sosial; seperti membatasi frekuensi penggunaan media sosial menjadi maksimal lima kali seminggu, menjaga jarak smartphone dan tempat tidur saat mengisi baterai, atau hapus media sosial yang lebih memiliki pengaruh negatif.
Namun, solusi terbaik adalah berfokus pada pengembangan diri sendiri daripada sibuk mengurusi orang lain. Karena pada akhirnya, hidup kita berada di tangan diri sendiri masing-masing.
Penulis: Ignatius Raditya Nugraha
Editor: Gilang Fajar Septian
Sumber: Tirto.id, Theguardian.com
Gambar: Medicalnewstoday.com