SERPONG, ULTIMAGZ.com – Pembicaraan tentang kesehatan mental terus menjadi perbincangan di tengah masyarakat, terutama di kalangan Generasi Z. Menurut Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey 2022, 15,5 juta atau sebesar 34,9 persen remaja mengalami masalah mental, dilansir dari kompas.id.
“Data menunjukkan 57 persen dari Generasi Z mengalami trauma terkait lingkungan dan isu sosial, dengan fokus utama pada dinamika keluarga sebagai karakter sulit yang sering kali menjadi permasalahan,” ujar psikiater Elvine Gunawan pada lokakarya Institut Pertanian Bogor (IPB), pada Selasa (09/01/24), dikutip dari medcom.id.
Baca juga: Oversharing: Berbagi Cerita tetapi Mengundang Bahaya
Keterbukaan Generasi Z dengan trauma tersebut membuat mereka rela menceritakannya kepada teman dengan harapan mampu mengurangi beban. Namun, transparansi yang berlebihan atas trauma itu terkadang membawa dampak negatif. Fenomena tersebut bernama trauma dumping yang mana seseorang menuangkan emosi dan pikiran secara berlebihan, dilansir dari parapuan.co.
Penyebab Trauma Dumping
Ada banyak alasan mengapa seseorang melakukan trauma dumping. Melansir charliehealth.com dan verywellmind.com, beberapa orang ingin mencari validasi atas trauma yang dialami, tetapi ada juga yang melakukannya tanpa sadar.
Trauma dumping terjadi ketika seseorang membongkar semua kejadian atau perasaan traumatis mereka kepada lawan bicara. Beda dengan curhat, trauma dumping dilakukan tanpa izin lawan bicara secara repetitif dan intens. Contohnya adalah ketika teman kuliah berbagi detail spesifik tentang masalah keluarga ketika suasana sedang santai.
Mengutip psychologytoday.com, biasanya pelaku trauma dumping merasa sulit untuk mengatur, mengolah, dan menyaring perasaan mereka dengan tepat. Hal tersebut membuat mereka tidak tahu apakah sebuah topik patut dibicarakan atau tidak.
Dampak Trauma Dumping
Tidak semua orang sanggup mendengar cerita traumatis sehingga membuat lawan bicara merasa tidak nyaman. Mengutip stories.rahasiagadis.com, mendengarkan cerita traumatis secara berlebihan dapat menyebabkan dampak negatif pada kesehatan mental. Hal ini dikarenakan dapat memicu rasa khawatir serta rasa tanggung jawab atas kesejahteraan pelaku.
Ada juga yang merasa tidak mampu memberi saran atas situasi teman mereka. Sebaliknya, ada yang malah merasa stres karena pelaku trauma dumping tidak ingin berubah walaupun diberi saran.
“Orang yang menerima pikiran dan emosi ini sering kali merasa kewalahan dan tidak berdaya karena mereka tidak yakin bagaimana harus merespons atau mungkin tidak diberi kesempatan untuk merespons,” kata psikolog Kia-Rai Prewitt, pada (25/07/24), dilansir health.clevelandclinic.org.
Beban tersebut mendorong banyak orang untuk menghindari teman mereka. Tentunya, hal ini justru merusak pertemanan. Maka dari itu, perlu adanya batasan ketika sedang curhat dengan teman.
Cara Menghentikan Diri dari Trauma Dumping
Salah satu cara paling efektif untuk menghentikan trauma dumping adalah menetapkan batasan. Ultimates juga dapat meminta izin dari lawan bicara untuk bercerita dan tidak dilakukan secara intensif.
Ultimates juga dapat menuliskan isi hati di sebuah buku pribadi. Melansir webmd.com, mencurahkan isi hati ke dalam suatu tulisan dapat membantu meredakan tekanan mental. Manfaat dari aktivitas tersebut adalah untuk memicu rasa lega dan intuitif terhadap masalah yang dihadapi.
Baca juga: Pentingnya Support System dalam Hadapi Masalah Kesehatan Mental
Tentu, tidak ada salahnya dalam menceritakan masalah yang dialami, tetapi Ultimates harus dapat membatasi diri ketika bercerita kepada orang lain. Ultimates harus memperhatikan topik dan detail cerita apa saja yang dapat dibicarakan sebelum diceritakan kepada kawan.
Penulis: Kristy Charissa Lee
Editor: Cheryl Natalia
Foto: iStock
Sumber: kompas.id, medcom.id, parapuan.co, charliehealth.com, verywellmind.com, psychologytoday.com, storiesrahasiagadis.com, health.clevelandclinic.org
Comments 1