SERPONG, UTLIMAGZ.com—Seorang hakim terpaku pada sebuah kertas, matanya menyipit, dan tangannya menjadi sandaran. Di hadapannya, seorang komedian Nunung Srimulat yang sedang menjalankan proses pengadilan. Nunung tertangkap karena mengonsumsi narkoba jenis sabu. Namun, di tengah proses hukum ini, sang hakim malah mengeluarkan pernyataan yang kurang pantas.
“Mbak Nunung setiap hari kan cengengesan, kok bisa depresi? kok enggak percaya,” ujar hakim Djoko Indiarto menanggapi laporan dokter Henry taruli Tambunan dari Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur Jakarta Timur, dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Rabu (23/10/19).
Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), definisi depresi adalah gangguan jiwa pada seseorang yang ditandai dengan perasaan yang merosot (muram, sedih, perasaan tertekan). Kata ‘gangguan jiwa’ menjadi penting di sini. Dapat disimpulkan bahwa depresi adalah masalah kesehatan yang bisa menyasar semua orang, tanpa terkecuali.
Hakim dalam pengadilan ini bahkan telah melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, dalam berprilaku adil. Dalam kode etik tersebut disebutkan bahwa setiap individu yang berprofesi sebagai hakim dilarang melakukan pelecehan terhadap perbedaan kemampuan fisik atau mental. Meremehkan pengidap depresi adalah pelecehan terhadap perbedaan kemampuan mental.
Dalam kasus ini, Nunung adalah seorang komedian yang memiliki tuntutan untuk menghibur khalayak. Namun, sebagian masyarakat lupa bahwa seorang komedian juga manusia. Memiliki kehidupan dan perasaan lain di balik layar yang tidak dipublikasi.
Seorang editor dari media cracked.com, David Wong, sempat menyinggung soal depresi pada profesi komedian. David melakukan riset tentang setiap komedian yang pernah bekerja sama dengannya. Dia menjelaskan bahwa komedian cenderung menonjolkaan kekurangannya untuk menghibur orang lain. Namun, di waktu yang sama sebenarnya, mereka membenci diri mereka sendiri. Harus disadari, bahwa komedian yang sibuk menghibur orang lain, ternyata sering tidak mampu menghibur diri sendiri.
Pengadilan Nunung, menggambarkan masyarakat kita masih lekat dengan stigma terhadap pengidap depresi. Tidak jarang, depresi dikaitkan dengan hal yang sama sekali tidak ada hubungannya. Alhasil, pengidap depresi akan enggan mencari pertolongan.
Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, terdapat sekitar 14 juta masyarakat Indonesia mengidap depresi. Angka yang besar mengingat hanya 9 persen yang mendapatkan penanganan profesional.
Stigmatisasi pun punya bagian di dalam 91 persen pengidap depresi yang tidak mencari atau mendapat penanganan. Karena hal ini, masalah kesehatan mental ini pun sering berakhir di ranah yang salah.
Seorang remaja berusia 20 tahun, sebut saja Dodi (bukan nama sebenarnya) memiliki gangguan depresi. Alih-alih dibawa ke tenaga profesional, keluarganya malah membawanya ke ahli agama.
“Awalnya, orang tua gue mengira anaknya kerasukan karena itu gue malah dibawa ke tempat ibadah dan dibacain doa macem-macem. Tapi pada akhirnya tidak ada perubahan, akhirnya mereka menyerah dan bawa gua ke pihak profesional,” ujar Dodi.
Hal yang harus dimengerti dari depresi adalah hal ini murni masalah pada biologi otak manusia dan tidak ada kaitannya dengan iman, serta intensitas beribadah. Oleh karena itu, penanganannya mesti dengan ilmu kesehatan, psikiater atau psikolog.
Pun demikian, bukan berarti pengidap depresi dapat dipanggil ‘orang aneh’. Menurut psikiater Andreas Kurniawan, depresi dapat dianalogikan seperti penyakit asma. Beberapa orang yang tumbuh dengan asma akan dimengerti jika mengalami sesak. Karena itu, memang sulit untuk merasakan udara ketika memiliki radang pada pernafasan.
Sama halnya dengan depresi, seorang pengidap depresi bukan tidak mau berusaha untuk mencari kesenangan. Namun, hal itu sukar dilakukan ketika otak mereka memiliki ‘radang’.
Maka dari itu, masyarakat harus lebih mengerti dan berempati untuk masalah kesehatan mental. Pelajaran terkait kesehatan mental pun seharusnya perlu ditambahkan ke dalam kurikulum pendidikan. Pemberian stigma tidak ada hubungannya dengan tingkat pendidikan. Seorang hakim berpendidikan tinggi pun dapat membebankan stigma kepada komedian yang memiliki gangguan mental.
Penulis : Andrei Wilmar, Jurnalistik 2018
Editor: Agatha Lintang
Foto: creativemarket.com
Sumber: Tirto.id, health.detik.com, depkes.go.id, intothelightid.org, liputan6.com, bawas.mahkamahagung.go.id