“Pengen ngomong sih. Pengen. Cuman apakah kita bisa memilih? Tidak. Tidak ada pilihan.”
Kalimat itu keluar dari Abdul (bukan nama sebenarnya) saat mendeskripsikan bagaimana realitas hidup pekerja rentan atau prekariat di dunia kerja saat ini. Para prekariat mau berbicara soal eksploitasi kerja berlebihan tanpa uang lembur, ketidaksesuaian atau ketidakjelasan surat perjanjian kerja, hingga ketiadaan jaminan pekerjaan, kesehatan, dan lainnya. Namun, prekariat hanya bisa pasrah merelakan hak-hak pekerja mereka karena begitulah sistem ketenagakerjaan di Indonesia.
Baca juga: Banjir Stigma, Pekerja Seks Punya Andil dalam Perjuangan Kemerdekaan
Prekariat merupakan istilah yang dipopulerkan oleh Guy Standing dalam bukunya The Precariat: the New Dangerous Class (2014). Istilah tersebut tak disangka dekat dengan situasi di Indonesia sekarang.
Prekariat adalah sebutan untuk pekerja dengan jam kerja, kontrak kerja, jaminan kerja, dan lingkup kerja yang tak menentu. Prekariat berbentuk sebagai pekerja kontrak, pekerja lepas atau freelancer, dan pekerja magang.
Lembur Kontrak yang Tak Berupah
Abdul merupakan pekerja kontrak pengembang teknologi informasi (IT developer) di salah satu vendor anak perusahaan bank ternama. Terhitung sejak 15 Agustus 2023, ia mulai berpindah kerja ke kantor bank tersebut secara luring. Namun, Abdul tidak menyangka bahwa dirinya akan sering dibuat lembur.
“Setengah sepuluh (malam) gue masih depan laptop cuy,” keluh Abdul.
Pria berumur 26 tahun ini hampir selalu bekerja 12 hingga 13 jam setiap harinya termasuk Sabtu dan Minggu, bahkan kalau sedang kurang beruntung ia bekerja dari pagi bertemu pagi. Jika Abdul menjumlahkan jam kerjanya, ia bekerja selama 84 jam di kantor.
Jumlah ini melebihi batas jam kerja yang diatur di pasal 81 angka 23 Peraturan Pemerintah Pengganti undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja yang kini telah disahkan jadi Undang-Undang (UU). Berdasarkan pasal tersebut, pekerja seharusnya bekerja selama delapan jam per hari atau 40 jam dalam satu minggu untuk lima hari kerja.
Sebetulnya hal ini sudah tertulis di surat perjanjian kerja, tetapi Abdul merasa surat itu sama sekali tidak sesuai dengan realitas di kantor. Ditambah, upah lembur tidak ditulis di surat perjanjian kerja. Alhasil, Abdul pun tidak diupah saat kerja lembur bahkan pada hari libur karena ia berstatus pekerja kontrak.
“Bisa dibilang mereka (pekerja tetap) lebih worth it, lembur dibayar. Kita (pekerja kontrak) tidak,” kata Abdul.
Lembur tidak dibayar ini memang lumrah bagi sistem perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) bagi pekerja kontrak. Tidak ada pasal yang mewajibkan pekerja kontrak perlu mendapat upah lembur di UU Cipta Kerja. Hal ini semakin mendukung mekanisme kerja eksploitasi tenaga prekariat semaksimal mungkin dengan upah seminimal mungkin.
“Bahkan di kontrak itu tertulis untuk agar kami lebih mementingkan kepentingan perusahaan dibandingkan kepentingan diri sendiri terlebih dahulu,” jelas Abdul.
Sistem kerja kontrak yang menurut Abdul seperti sistem kerja paksa romusha ini pun ternyata bisa berubah menjadi lebih buruk lagi karena perusahaan dapat terus menjebak pekerja dalam status kontrak. Sebab, Perppu Cita Kerja yang mengubah UU Cipta Kerja terbaru sekarang ini tidak lagi mengatur batasan waktu kontrak.
“Normal pertama itu kerjanya sebagai pegawai kontrak. Yang tidak normal itu adalah ketika sudah lama masih kontrak-kontrak saja. Tidak ada kepastian, tidak ada keamanan untuk pekerjaan bisa diputus begitu saja,” ucap Abdul.
Baca juga: Pertahankan Pekerja Anak, Masa Depan Bangsa Dirampas
“Bahkan kalau bahas durasi kontrak, kenalan gue ada yang di tempat kerja sekarang itu kontrak sudah delapan setengah tahun, tapi statusnya masih kontrak tidak diangkat sebagai pegawai tetap, sangat tidak adil,” tambahnya.
Padahal status kontrak ini sangat rentan. Tidak mendapat benefit seperti pekerja tetap, pekerja kontrak hidup dalam ketakutan bahwa kerja kontraknya bisa diputus kapan saja oleh perusahaan. Maka dari itu, tidak ada keamanan pekerjaan dalam kerja kontrak.
Lumrahnya Freelancer Tanpa Jaminan
Kondisi ketidakamanan pekerjaan juga dialami freelancer seperti Juni (bukan nama sebenarnya). Juni merupakan freelancer desain grafis sejak 2018. Ia mendapat pekerjaan freelancer dari mulut ke mulut orang-orang yang ia kenal.
Perempuan berusia 26 tahun ini pernah bekerja untuk membantu usaha teman, proyek sampingan tempat magang, juga sempat mencari lowongan di media sosial. Namun, hingga kini ia bekerja dari rumah (work from home) untuk dua perusahaan, ia tidak pernah membuat perjanjian kerja yang memiliki payung hukum untuk melindungi status pekerjanya.
“Kita kayak perjanjian verbal saja. Jadi, sebenarnya agak rentan sih untuk istilahnya dikontrak sampai kapan,” kata Juni.
“Kita hanya diskusi di awal sebelum mulai pekerjaan. Oh, pekerjaan saya itu melingkupi a, b, dan c, kita menawarkan gaji sekian kamu oke gak? Kita diskusi, setelah diskusi angka (gaji) ketemu, kita deal. Tapi gak ada yang namanya tanda tangan kontrak,” jelas Juni lebih lanjut.
Perjanjian kerja yang lemah secara hukum ini memang sering terjadi karena hubungan pemberi kerja dan freelancer dianggap sebatas jual beli jasa. Perspektif ini membuat freelancer rentan mengalami pemutusan kerja.
Pasalnya, UU Cipta Kerja juga tidak menjelaskan secara eksplisit istilah freelancer. Namun, banyak freelancer tidak tahu bahwa mereka dapat dianggap menjadi pekerja PKWT apabila dalam perjanjian kerja dibuat sah sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang ada. Status PKWT lebih terjamin dan memiliki payung hukum bagi freelancer.
Namun, status PKWT juga akan membuat perusahaan harus mengerjakan hal ekstra. Pertama, pemberi kerja harus membuat perjanjian kerja harian lepas secara tertulis dengan pekerja, membuat daftar pekerja, dan menyampaikannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
Selain itu, freelancer umumnya juga tidak mendapat berbagai jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Padahal, pasal 14 UU BPJS mengatakan, setiap orang yang bekerja paling singkat enam bulan wajib menjadi peserta program jaminan sosial. Dalam hal ini, pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya di BPJS.
Juni tahu betul soal kewajiban tersebut. Namun, ia tidak memiliki kekuatan hukum apa-apa untuk menagih jaminan sosial tersebut dikarenakan ketiadaan surat perjanjian kontrak.
“Aku mau menagih, balik lagi juga, aku gak punya leverage surat resmi, kontrak resmi. Tapi aku tidak menagih juga tidak mendapat hak aku. Bisa dibilang pasrah,” jelas Juni.
Selama ini, Juni merasa beruntung bisa terus bertahan menjadi freelancer karena punya jaminan kesehatan swasta. Ia terus menjadi freelancer karena preferensi kerjanya yang fleksibel. Namun, menurutnya, akan lebih baik jika ada perusahaan yang turut menjamin kesejahteraan freelancer.
Baca juga: Flagship 3.0: Revolusi AI Sebagai Mitra Kolaborasi Bidang Pekerjaan
“Pekerja freelance apalagi sekarang ini banyak banget peminatnya, baik dari segi pekerjanya dan pemberi jasanya untuk pekerja freelance,” ucap Juni.
“Aku berharap setidaknya ada suatu jaminan yang tepat baik dari pemerintah juga. Biar orang yang mencari pekerja freelance bisa dapat hak-hak selayaknya bagi pekerja freelance,” lanjutnya.
Praktik Magang yang Belum Sesuai
Lalu, bagaimana dengan jaminan hak dan kewajiban anak magang? Pasal 22 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan menuliskan, peserta magang berhak memperoleh uang saku dan/atau uang transportasi, memperoleh jaminan sosial tenaga kerja, dan memperoleh sertifikat apabila lulus di akhir program.
Peraturan tentang magang juga diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 36 Tahun 2016. Di pasal 12 ayat (2) pun menyebutkan, uang saku peserta magang terdiri dari biaya transportasi, uang makan, dan insentif.
Sayangnya, Elizabeth (bukan nama sebenarnya) merasa bahwa dirinya dieksploitasi ketika mendaftar posisi reporter ke sebuah perusahaan media sebagai peserta magang pada awal Februari 2023. Perempuan berusia 21 tahun ini menceritakan bahwa dirinya banyak dituntut untuk melakukan liputan, tetapi perusahaan tidak memberinya uang saku atau transportasi.
“Lima hari bekerja dalam seminggu di perusahaan itu, uang yang saya habiskan untuk liputan itu sudah hampir satu juta lebih,” ungkap Elizabeth.
Akibat dilempar banyak liputan, Elizabeth pernah jatuh sakit suatu saat. Ia pun memberanikan diri untuk izin ke atasan atau supervisinya saat magang.
“Waktu itu saya mau izin ke supervisi untuk meniadakan liputan ke saya selama dua hari saja,” ceritanya.
Namun, permohonan itu ditolak. Alih-alih memberikan solusi yang sama-sama menguntungkan kedua pihak, supervisinya malah membandingkan kondisi Elizabeth dengan karyawan lainnya.
“Cuma kecapean doang kok, masa sampai harus izin. Kita (karyawan) semua juga sibuk loh, bukan kamu doang. Saya juga tiap hari liputan,” kata Elizabeth menirukan perkataan supervisinya.
Tidak hanya mengenai uang, tetapi Elizabeth juga tidak diberi bimbingan atau arahan yang sepatutnya ia dapatkan untuk meningkatkan keterampilannya di dunia kerja. Padahal, magang adalah sistem pelatihan kerja yang dilakukan dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu.
“Kalau lagi magang itu biasanya kita dibimbing oleh senior untuk mendapatkan ilmu atau pengalaman baru. Tapi selama magang di perusahaan itu, saya tidak dibimbing sama sekali,” cerita Elizabeth.
“Jadi saya tidak diberi ajaran seperti cara penulisan berita yang sesuai dengan standar media ini bagaimana, atau tips selama liputan itu bagaimana.”
Tak sampai sebulan, Elizabeth memutuskan untuk mengundurkan diri. Proses pengunduran diri pun berjalan lempeng dan cepat, tanpa basa-basi. Meskipun ia telah menceritakan ketidaknyamanan yang didapatkan selama magang di situ, perusahaan menerima surat pengunduran diri tanpa memberikan ulasan lanjutan. Padahal, ia berharap perusahaan bisa memberikan respons mengenai perlakuan tidak baik yang telah dialaminya selama magang di perusahan itu.
“Jadi itu aku keluar, terus sudah. Langsung bye. Gak ada feedback atau ucapan terima kasih untuk aku yang telah kerja magang di sana,” katanya.
Elizabeth mendaftar magang di perusahaan tersebut karena kewajiban dari kampus yang harus dilaluinya sebagai mahasiswa. Definisi magang pun berbeda apabila pesertanya adalah mahasiswa. Sebab, program magang yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan ditujukan secara khusus untuk pelatihan kerja dan peningkatan kompetensi kerja bagi para pencari kerja yang telah menyelesaikan pendidikan formal, bukan untuk tujuan akademis atau pemenuhan kurikulum.
Baca juga: Pahami “Procrastination”, Kebiasaan Menunda Pekerjaan
Peserta magang yang berstatus mahasiswa pun kerap kali tidak dianggap sebagai subjek hukum ketenagakerjaan. Alhasil, banyak perusahaan malah memanfaatkan anak muda yang perlu magang demi keperluan kuliah.
Jaminan perlindungan hukum bagi mahasiswa yang menjadi peserta magang pun perlu dipertegas. Sebab, peraturan Kementerian Ketenagakerjaan tidak mencakup mereka. Alhasil, mahasiswa berada di posisi abu-abu dengan ketiadaan payung hukum yang menaungi.
Prekariat Kehilangan HAM
Dari cerita Abdul, Juni, dan Elizabeth, bisa dibilang mereka minim mendapatkan jaminan sosial akibat berantakannya payung hukum di Indonesia mengenai ketenagakerjaan.
Kasus yang dialami Abdul, memberikan dampak negatif pada kesehatan fisik dan mentalnya. Ia mengaku stres dan tidak bisa melakukan hal-hal lain untuk menggeluti hobinya, bahkan terbatas untuk memiliki waktu bersama orang-orang terdekat seperti keluarga.
Begitu juga dengan Elizabeth yang merasa dirinya dirugikan secara fisik dan finansial. Ia merasa praktik magang malah dijadikan dalih bagi perusahaan untuk mempekerjakan buruh murah.
Apabila dikaitkan dengan hak asasi manusia (HAM), terdapat UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM di pasal 38 ayat 4 yang menjamin hak pekerja untuk memperoleh kesejahteraan dengan bunyi, “Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya.”
Beberapa hal agar jaminan sosial prekariat bisa terpenuhi adalah seperti upah layak, kenaikan gaji, gaji tepat waktu, dan gaji setara untuk pekerjaan yang bernilai setara. Namun, masih tetap ada pelanggaran hak-hak pekerja yang terlalu dinormalisasikan di Indonesia.
Baca juga: Menilik Polemik UU Cipta Kerja: Aksi Mahasiswa hingga Sektor Kontroversial
Penegakan HAM terhadap tenaga kerja harus dihormati dan ditanggapi serius. Sebab, semua orang memiliki hak untuk bekerja dengan aman demi memenuhi kebutuhannya. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 28D dalam UUD 1945, bahwa “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
Di sisi lain, Juni mengaku lebih nyaman sebagai pekerja lepas. Sebab, ia bisa mengerjakan pekerjaan lebih santai dan fleksibel dari segi waktu. Meski mendapatkan gaji yang cukup ideal, Juni sadar bahwa menjadi seorang pekerja lepas tidak ada jaminan sosial yang mengiringinya.
Tempat Berlindung Bagi Prekariat
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), 34,12 juta orang dari 147,71 juta orang Angkatan Kerja (AK) bekerja sebagai freelancer. Kemudian, 9,34 juta orang setengah pengangguran atau bekerja kurang dari 35 jam dalam satu minggu, serta 12,93 persen pekerja tidak dibayar. Meski jumlah prekariat tidak besar, tetapi hal tersebut cukup serius bagi pekerja yang benar-benar giat dengan pekerjaannya.
Fenomena ini menjadi perhatian serius untuk pekerja Indonesia dan dipantau juga oleh Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif Untuk Demokrasi (SINDIKASI) sebagai badan inisiatif yang saling mendukung dan menjadi jaring pengaman dalam kerentanan pekerjaan. SINDIKASI hadir untuk para pekerja dan untuk mendorong rasa solidaritas guna mewujudkan hak-hak pekerja. Fokus SINDIKASI melakukan pendampingan, advokasi, riset, pendidikan, pelatihan, dan berbagai bentuk kampanye.
“Yang dilakukan oleh SINDIKASI adalah untuk bisa mengakomodir. Mengakomodir kebutuhan, mengakomodir situasi kerja, kondisi teman-teman yang berada dalam lingkup kerja untuk bisa mempunyai kondisi tawar yang lebih kuat,” ujar Koordinator Divisi Advokasi SINDIKASI Bimo Ario Fundrika.
SINDIKASI juga membantu para anggotanya untuk melakukan negosiasi perjanjian kerja bersama (PKB) jika terjadi masalah terkait kontrak kerja. Selain itu, untuk menyadarkan hak-hak pekerja kontrak dan freelancer dengan kontrak kerja dengan perusahaan.
“Dengan PKB freelancer ini, sebetulnya kami juga mendorong, supaya teman-teman freelancer ketika melakukan negosiasi atau melakukan kontrak kerja juga ada kontrak kartu. Jadi, ketika ada situasi yang tidak mengenakkan terjadi, lalu tidak ada kontrak kerja, itu yang bisa menjadi jaringan pengaman untuk teman-teman,” jelas Bimo.
Sebagai badan inisiatif, SINDIKASI sudah diakui dan di tercatat di Suku Dinas Ketenagakerjaan Jakarta Utara dalam nomor pencatatan 2279/III/SP/XII/2017. Badan inisiatif tersebut juga memberikan konsultasi dan rekomendasi bagi freelancer untuk meminta surat kontrak kerja guna menjadi pegangan selama bekerja. Dengan berserikat di SINDIKASI, membantu pekerja media dan industri kreatif untuk memperjuangkan haknya. Dengan memiliki suara yang besar, kerentanan dalam bekerja akan membantu mendapatkan hak pekerja.
Bimo juga menyampaikan, perjanjian kontrak kerja yang dilakukan secara verbal tidak direkomendasikan karena akan ada kejanggalan dan ketidakjelasan yang dilalui pekerja selama terikat dengan perusahaan. SINDIKASI berjuang bersama dengan pekerja rentan untuk menuntut kejelasan PKWT dan pemberian upah yang setimpal kepada pekerja.
“Karena paling tidak kita bisa, sesimpel menjadi teman bercerita, teman berkeluh kesah. Dari situ kita bisa melakukan hal lain, melakukan antisipasi, perundingan dengan perusahaan, dan advokasi,” ujarnya.
SINDIKASI berupaya menjadi rumah untuk para pekerja rentan. Memberikan tempat sambat yang terbuka dan memberikan layanan konsultasi dan advokasi dengan pekerja, pun membantu menegosiasikan hak-hak pekerja kepada perusahaan. Tidak hanya melayani sesama anggota saja, SINDIKASI juga terbuka untuk para pekerja media dan industri kreatif.
Baca juga: Hustle Culture, Gaya Hidup si Penggiat Kerja
Bimo berharap, ada badan inisiatif lainnya sebagai serikat pekerja yang menaungi di sektor pekerjaan lainnya. Sebab, semua pekerja membutuhkan hak atas tenaga dan waktu yang telah mereka keluarkan.
Fenomena prekariat cukup merajalela dan terlalu dinormalisasikan. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya kisah pekerja kontrak, pekerja magang, pekerja lepas, hingga pekerja paruh waktu. Mereka dapat kapan saja disingkirkan dengan mudah atas nama kepentingan dan keuntungan yang ditopang oleh perusahaan-perusahaan ‘nakal’.
Disclaimer: Tulisan ini merupakan karya proyek pada Desember 2023 dari mata kuliah Media and Humanitarian Perspective, di bawah arahan dosen pengampu Nasrullah Nara.
Penulis: Alycia Catelyn, Aqeela Ara, Vellanda
Editor: Josephine Arella
Foto: Unsplash/Luis Villasmil
Sumber: www.bps.go.id