SERPONG, ULTIMAGZ.com – Saat ini, banyak orang yang semakin bebas dalam mengekspresikan dirinya. Salah satu caranya yaitu melalui fesyen dimana terdapat tren pria menggunakan rok. Tak jarang tren ini dibagikan di media sosial oleh masyarakat dan para artis pria.
Artis-artis tersebut datang dari luar dan dalam negeri seperti penyanyi Inggris Harry Styles, aktor Indonesia Jefri Nichol, dan juga Devano Danendra. Mengutip idntimes.com, di era kini, laki-laki yang bergaya fesyen feminin cenderung dinilai bukan pria sejati. Padahal, bagaimana seseorang bergaya pada pakaiannya adalah hak bebas bagi penggunanya.
Baca juga: Ian Hugen Ajak Anak Muda Tingkatkan Kepercayaan Diri Lewat Fesyen

(kapanlagi.com, wolipop.detik.com, idntimes.com)
Penggunaan Rok di Masa Lampau
Namun, tahukah Ultimates bahwa ternyata rok sudah digunakan oleh pria sejak dahulu kala, bahkan sejak zaman prasejarah? Melansir magdalene.com, pada tahun 4000 sebelum masehi (SM), rok digunakan sebagai pakaian umum laki-laki karena mudah dibuat dan membuat pemakainya dapat bergerak lebih bebas.
Lalu, sekitar 2130 SM, masyarakat Mesir kuno, khususnya laki-laki menggunakan shendyt, yaitu rok yang terbuat dari linen. Pada peradaban bangsa Yunani dan Romawi, rok digunakan oleh para prajurit laki-laki. Rok bahkan dilambangkan sebagai kejantanan pria dan menjadi kebanggaan prajurit kerajaan.

Tak hanya rok, penggunaan korset juga dulu dilakukan oleh laki-laki pada abad ke-18 dan 19. Korset digunakan oleh kaum adam untuk menunjukkan posisi sosial mereka di tengah masyarakat. Memiliki postur tubuh yang baik seperti bahu lebar, pinggang ramping, dan punggung tegap sangat penting bagi laki-laki dari kaum aristokrat saat itu.

Tidak hanya para bangsawan, korset ternyata juga dipakai oleh para tentara. Melansir ussconstutionmuseum.org, para kavaleri atau pasukan berkuda menggunakan korset untuk berburu dan melakukan olahraga berat.
Walau demikian, penggunaan korset tidak terlalu menyebar luas sehingga laki-laki yang memakai dalaman tersebut seringkali menjadi target cemoohan. Pada pertengahan abad ke-19, korset menjadi tabu bagi laki-laki dan pemakaianya perlahan berkurang.
Bebas Berpenampilan Lewat Fesyen Unisex
Secara struktur sosial, masyarakat sering mengaitkan fesyen pada gender sang pengguna. Padahal, fesyen dan gender bukan dua hal yang saling berhubungan.
Banyak orang masih tidak menyadari keberadaan fesyen unisex atau genderless dalam industri mode. Pada dasarnya, fesyen unisex merupakan konsep dimana pakaian dirancang tanpa melihat dan mempertimbangkan jenis kelamin pemakainya.
“Busana unisex dapat dipakai oleh pria maupun perempuan, tergantung mau mengenakannya atau tidak. Dipakai pria cocok dan dipakai perempuan juga cocok,” kata Lima Luthfi Majid, seorang perancang busana pada Sabtu (19/11/22), dikutip dari krjogja.com.
Pakaian unisex sebenarnya sudah muncul sejak lama, tepatnya pada akhir 1960-an. Melansir theatlantic.com, berbagai desainer mode ternama seperti Pierre Cardin, Andre Courreges, dan Paco Rabanne merancang koleksi busana yang tidak terikat pada gender manapun di Paris pada 1969.
Fesyen unisex awalnya dipopulerkan oleh merek-merek adibusana. Akan tetapi, tren ini akhirnya menjadi bagian dari fesyen mainstream sejak Zara pada 2016 merilis koleksi “Ungendered” dan kehadiran koleksi “Denim United” dari H&M setahun setelahnya. Kini, busana unisex sudah mudah ditemukan di toko-toko pakaian dengan berbagai pilihan model.

Melalui fesyen unisex, busana dibuat dengan berbagai model dan warna tanpa melihat stereotip yang ada di dalamnya. Misalnya, kaus warna pink yang umumnya dianggap hanya dipakai perempuan juga dapat digunakan oleh laki-laki.
Dengan hadirnya busana yang tidak berorientasi pada gender, semua orang memiliki hak untuk memakai pakaian apa saja sesuai dengan keinginan mereka. Melalui pakaiannya, seseorang bisa menyampaikan pesan-pesan nonverbal seperti perasaan dan identitas diri. Maka, batasan dan stereotip gender seharusnya dihapuskan dalam konteks fesyen sebab mode sendiri bisa menjadi sarana pengekspresian diri.
Baca juga: Polemik Thrifting: Pakaian Bekas Impor Ganggu Industri Tekstil Indonesia
Desainer Musa Widyatmodjo menyampaikan bahwa fesyen tidak pasti berhubungan dengan gender pemakainya.
“Fesyen itu beda dengan gaya hidup atau dengan identitas seksualitas mereka,” ujarnya pada wawancara bersama dengan ANTARA, Kamis (21/04/22).
Sejatinya, pakaian digunakan untuk melindungi tubuh dari hal-hal yang membahayakan kulit. Dalam arti tersebut, semua orang bebas memilih busana apa saja asal keselamatan dan kenyamanan mereka terpenuhi.
Penulis: Cheryl Natalia (Komunikasi Strategis, 2021) & Josephine Arella (Jurnalistik, 2021)
Editor: Michael Ludovico
Foto: Bryant Alexander
Sumber: idntimes.com, magdalene.co, antaranews.com, krjogja.com, theatlantic.com, ussconstutionmuseum.org, kapanlagi.com, wolipop.detik.com, messynessychic.com